Selasa, 30 September 2014

Sweet 17th Birthday

nih cicilan cerpen buat tugas Bahasa Indonesia. Absurd? Pasti iyalah. Ngerjainnya aja keburu sama deadline. Selamat membaca!

Setelah begitu jenuh mengerjakan tugas sekolah yang tak selesai-selesai juga. Ku tengokkan kepala lewat sebuah lubang persegi yang ada di kamar, tampak ratusan, ribuan bahkan jutaan bintang bertaburan di langit. Mereka begitu indah, mereka selalu bersinar  menerangi gelapnya malam.
Pernah terfikirkan di benakku, aku ingin jadi seperti bintang-bintang di langit itu, bersinar, menyinari segala sesuatu yang membutuhkan sinarnya. Orangtua, keluarga, sahabat dan teman-temanku ingin aku membahagiakan mereka dengan ilmu yang aku peroleh selama belasan tahun menimba ilmu. Tapi, apa mungkin itu bisa terjadi? Mengerjakan tugas sekolah sendiri saja aku masih kebingungan. Bagiku angan itu sangatlah mustahil.
“Tok.. tok.. tok..”
Tiba-tiba ketukan pintu membangunkan aku dari khayalan ku.
“Iyaa, siapa?”, tanyaku setelah sadar dari lamunanku untuk menjawab ketukan pintu tadi.
“Ini Mbak, teman SMP mu datang. Cepat keluar!  Kasihan ia sendiri menunggu di depan rumah.”, terdengar suara Ibu menjawab pertanyaanku dari balik pintu.
Tanpa berfikir panjang, akupun, bersiap dan merapikan diri sebelum keluar kamar. “Tapi, kenapa rumah jadi gelap?”, tanyaku dalam hati saat keluar dari kamar dan berusaha mencari sakelar lampu ruang tamu.
“Nah, akhirnya ketemu juga!”, seruku saat menemukan saklar lampu dan menekan tombol on . Dan ketika lampu menyala seisi ruangan mulai menyanyikan lagu Happy Birthday.
Happy Birthday Widya… Happy Birthday Widya… Happy Birthday, Happy Birthday, Happy Birthday Widyaa…”
Mendengar suara mereka bernyanyi rasanya ingin sekali aku meneteskan air mata. Air mata bahagia tentunya, aku terharu melihat keadaan yang aku lihat saat ini, keluarga dan sahabat yang aku sayangi berkumpul dihari spesialku. Sedikit marah, pasti ada. Karena Ibu berbohong padaku dan sahabat-sahabatku datang ke rumah, tanpa sepengetahuanku.
“Tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga, sekarang jugaa.”, lanjut mereka sambil bertepuk tangan.
Akupun berdoa dalam hati dan segera meniup lilin yang ada di kue ulang tahun itu.
Oh iya, di hari ini, Kamis, 12 Juni 2014, tepat dimana usiaku bertambah satu tahun, dan sekarang aku sudah 17 tahun.
“Makasih semuanya, makasih buat surprise nya, makasih Bapak, Ibu, Ega, Sherly dan temen-temen semua.”, ucapku sambil meneteskan air mata.
Ibupun menghampiri dan mengusap air mataku dan berkata, “Selamat 17 tahun Sayang, semoga panjang umur dan menjadi anak yang sholehah.”
“Amin bu, makasih.”, jawabku sambil memeluk Ibu serta mencium tangannya.
“Selamat ulang tahun Mbak, semoga tercapai apa yang dicita-citakan.”, ucap Bapak.
Akupun segera berterima kasih dan mencium tangan Bapak. “Amin, terima kasih, Pak. Do’akan yang terbaik buat Widya.”
“Mbak Widya selamat ulang tahun ya. Makin tua jangan galak-galak sama Dinda.”, ucap adikku satu-satunya.
“Kalo kamu ndak nakal, Mbak ya ndak galak sama kamu dek. Makasih Sayang.” jawabku sambil mencium dan menyubit pipinya.
Dan semua teman yang datang ke rumahpun memberikan ucapan selamat ulang tahun padaku satu per satu.
“Wah, kasihan nih kuenya dianggurin. Hehe. Wid, buruan di potong, udah laper nih!”, pinta Ega cengengesan.
Aku hafal betul watak sahabatku ini. Tyas Eganingrum, nama lengkapnya. Ega memang teman yang konyol. Ia sering melakukan hal-hal aneh untuk menghibur sahabat-sahabatnya. Ia selalu terlihat ceria, seperti tak pernah mengalami masalah kehidupan. Ya, aku tahu, cara dan jalan yang dipilih setiap orang tentu berbeda-beda. Mungkin cara ini yang dipilih Ega untuk menggambarkan dirinya.
“Iya ga, yaampun udah SMA tapi sifatmu ndak berubah-berubah ya. Dimanapun, kapanmu dan sama siapapun makan tetep nomer satu.”, jawabku sambil menggodanya.
“Yaampun, kamu inget aja.”, jawab Ega yang terlihat agak centil.
Aku, Sherly, Ega, Dhea, Dhena dan Dewi memang sahabat waktu SMP. Tapi menginjak ke sekolah yang jenjang pendidikannya lebih tinggi kami berenam sudah tidak satu sekolah lagi. Sherly, Ega dan Dhena tetap satu sekolah di  SMA favorit di Kabupaten Wonogiri.
Aku ingat sekali, sejak SD aku punya cita-cita, aku ingin sekali bersekolah di SMA itu. Tapi takdir berkata lain. Aku sendiri juga lupa, kenapa waktu itu aku lebih memilih untuk melanjutkan sekolahku di salah satu SMK di Kota Solo.
Sedangkan Dhea dan Dewi memilih melanjutkan sekolah ke sekolah yang dekat dengan rumah mereka masing-masing. Karena alasan transportasi atau apa, aku kurang begitu tahu.
Meski begitu, Kami sering meluangkan waktu untuk berkumpul dan bermain bersama.
“Nih, kuenya udah tak potong nanti ambil sendiri yaa.”, kataku setelah selesai memotong kue.
“Habisin lho ya, tadikan kalian yang minta.”
“Tenang aja, semua makanan bakalan habis kok. Kan kita semua jago makan.”, jawab Sherly.
Mendengar jawaban Sherly itu, kami berenam spontan tertawa terbahak-bahak. Banyak sekali kenangan kita yang berhubungan dengan makanan.
Jam menunjukkan pukul 09.00 WIB, tak terasa sudah berjam-jam kami berkumpul tertawa bersama. Banyak sekali yang kami ceritakan, mulai dari nostalgia masa-masa SMP sampai saling menceritakan banyak hal yang ada di sekolah masing-masing,
Nggak lupa, kita juga sempat beberapa kali selfie untuk mengabadikan momen bahagiaku ini dan sekaligus momen dimana kita bisa kumpul lengkap berenam.
Mungkin memang sudah waktunya untuk pulang ke rumah masing-masing.
“Oom,Tante. Kita berlima pulang dulu ya, udah malem.”, pamit Dhea pada kedua orangtuaku.
“Iya dek, hati-hati ya. Makasih udah mau datang ke rumah dek Widya.”, jawab ibu menanggapi pamitan Dhea.
“Eh, makanan masih banyak nih, ndak mau bungkus?”, tanyaku pada lima sahabatku.
“Enggak, besok aja kesini lagi!”, jawab Dewi yang sudah mulai menyalakan mesin motornya.
“Mari Tante, Oom kami pulang dulu. Wid balik dulu ya, bye!”, teriak kelima sahabatku bersamaan.
“Oke. Bye! Hati-hati di jalan yaa!”, teriakku mengantarkan mereka pulang dengan penuh semangat.
Aku, Ibu dan Dinda langsung membereskan ruang tamu.
Setelah selesai merapikan sisa-sisa kegembiraan malam ini. Aku sekeluarga duduk bersama sambil menyaksikan acara televisi.
Beberapa menit ruangan ini membisu, sampai akhirnya Bapak membuka pembicaraan.
“Sebentar lagi sudah kelas 12. Sebentar lagi kamu lulus. Mau lanjut kuliah apa kerja Mbak?”, tanya Bapak kepadaku.
“Ya kuliah to, Pak. Anak pertama udah disuruh kerja. Kan Bapak juga belum pensiun, gaji masih cukup buat membiayai sekolah anak dan kebutuhan sehari-hari. Ibu juga punya tabungan buat jaga-jaga kalau ada kebutuhan mendadak.”, sahut Ibu.
“Kalau Bapak terserah Widya saja. Siapa tahu dia sekolah di SMK, jadi pengen mencoba didunia kerja?”, jawab Bapak menenangkan suasana.
Mendengar percakapan Bapak dan Ibu aku mulai memikirkan masa depanku.
“Hehe, Widya belum tahu, Pak, Bu. Pengennya sih kuliah, tapi rasanya udah capek belajar. Aku nurut sama apa yang Bapak sama Ibu mau aja deh.”, jawabku dengan nada yang tak meyakinkan.
“Ya jangan gitu, ini masa depanmu. Kamu yang menentukan tujuan hidupmu. Bapak cuma bisa membantu membiayai sekolahmu. Semuanya terserah kamu.”, jawab bapak yang berusaha meyakinkan pilihanku.
“Iya Pak, nanti Widya pikir-pikir lagi.”, kataku yang berusaha mengakhiri pembicaraan. Aku masih bingung menjawab setiap ada pertanyaan “Mau lanjut kemana, setelah lulus?”
“Sudah malam. Waktunya tidur. Dinda, tolong matikan TV nya!”, perintah ibu kepada adikku, tangan ibu menunjuk pada TV 14” yang masih menyala itu.
Aku segera bergegas bangkit untuk menuju kamar mandi untuk menggosok gigi dan menyuci tangan serta kakiku, sebelum akhirnya tidur.

Gimana guys ceritanya? Gaje ya? Mohon kritik dan sarannya dong :3 hehe. Thanks udah mau baca coretan manusia alay satu ini ;)