nih cicilan cerpen buat tugas Bahasa Indonesia. Absurd? Pasti iyalah. Ngerjainnya aja keburu sama deadline. Selamat membaca!
Setelah begitu jenuh mengerjakan tugas sekolah
yang tak selesai-selesai juga. Ku tengokkan kepala lewat sebuah lubang persegi
yang ada di kamar, tampak ratusan, ribuan bahkan jutaan bintang bertaburan di
langit. Mereka begitu indah, mereka selalu bersinar menerangi gelapnya malam.
Pernah terfikirkan di benakku, aku ingin jadi
seperti bintang-bintang di langit itu, bersinar, menyinari segala sesuatu yang
membutuhkan sinarnya. Orangtua, keluarga, sahabat dan teman-temanku ingin aku
membahagiakan mereka dengan ilmu yang aku peroleh selama belasan tahun menimba
ilmu. Tapi, apa mungkin itu bisa terjadi? Mengerjakan tugas sekolah sendiri
saja aku masih kebingungan. Bagiku angan itu sangatlah mustahil.
“Tok.. tok.. tok..”
Tiba-tiba ketukan pintu membangunkan aku dari
khayalan ku.
“Iyaa, siapa?”, tanyaku setelah sadar dari
lamunanku untuk menjawab ketukan pintu tadi.
“Ini Mbak, teman SMP mu datang. Cepat
keluar! Kasihan ia sendiri menunggu di
depan rumah.”, terdengar suara Ibu menjawab pertanyaanku dari balik pintu.
Tanpa berfikir panjang, akupun, bersiap dan
merapikan diri sebelum keluar kamar. “Tapi, kenapa rumah jadi gelap?”, tanyaku
dalam hati saat keluar dari kamar dan berusaha mencari sakelar lampu ruang
tamu.
“Nah, akhirnya ketemu juga!”, seruku saat
menemukan saklar lampu dan menekan tombol on .
Dan ketika lampu menyala seisi ruangan mulai menyanyikan lagu Happy Birthday.
“Happy
Birthday Widya… Happy Birthday
Widya… Happy Birthday, Happy Birthday,
Happy Birthday Widyaa…”
Mendengar suara mereka bernyanyi rasanya ingin
sekali aku meneteskan air mata. Air mata bahagia tentunya, aku terharu melihat
keadaan yang aku lihat saat ini, keluarga dan sahabat yang aku sayangi
berkumpul dihari spesialku. Sedikit marah, pasti ada. Karena Ibu berbohong
padaku dan sahabat-sahabatku datang ke rumah, tanpa sepengetahuanku.
“Tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga,
sekarang juga, sekarang jugaa.”, lanjut mereka sambil bertepuk tangan.
Akupun berdoa dalam hati dan segera meniup
lilin yang ada di kue ulang tahun itu.
Oh iya, di hari ini, Kamis, 12 Juni 2014, tepat
dimana usiaku bertambah satu tahun, dan sekarang aku sudah 17 tahun.
“Makasih semuanya, makasih buat surprise nya, makasih Bapak, Ibu, Ega,
Sherly dan temen-temen semua.”, ucapku sambil meneteskan air mata.
Ibupun menghampiri dan mengusap air mataku dan
berkata, “Selamat 17 tahun Sayang, semoga panjang umur dan menjadi anak yang
sholehah.”
“Amin bu, makasih.”, jawabku sambil memeluk Ibu
serta mencium tangannya.
“Selamat ulang tahun Mbak, semoga tercapai apa
yang dicita-citakan.”, ucap Bapak.
Akupun segera berterima kasih dan mencium
tangan Bapak. “Amin, terima kasih, Pak. Do’akan yang terbaik buat Widya.”
“Mbak Widya selamat ulang tahun ya. Makin tua
jangan galak-galak sama Dinda.”, ucap adikku satu-satunya.
“Kalo kamu ndak nakal, Mbak ya ndak galak sama
kamu dek. Makasih Sayang.” jawabku sambil mencium dan menyubit pipinya.
Dan semua teman yang datang ke rumahpun
memberikan ucapan selamat ulang tahun padaku satu per satu.
“Wah, kasihan nih kuenya dianggurin. Hehe. Wid,
buruan di potong, udah laper nih!”, pinta Ega cengengesan.
Aku hafal betul watak sahabatku ini. Tyas
Eganingrum, nama lengkapnya. Ega memang teman yang konyol. Ia sering melakukan
hal-hal aneh untuk menghibur sahabat-sahabatnya. Ia selalu terlihat ceria,
seperti tak pernah mengalami masalah kehidupan. Ya, aku tahu, cara dan jalan
yang dipilih setiap orang tentu berbeda-beda. Mungkin cara ini yang dipilih Ega
untuk menggambarkan dirinya.
“Iya ga, yaampun udah SMA tapi sifatmu ndak
berubah-berubah ya. Dimanapun, kapanmu dan sama siapapun makan tetep nomer
satu.”, jawabku sambil menggodanya.
“Yaampun, kamu inget aja.”, jawab Ega yang
terlihat agak centil.
Aku, Sherly, Ega, Dhea, Dhena dan Dewi memang
sahabat waktu SMP. Tapi menginjak ke sekolah yang jenjang pendidikannya lebih
tinggi kami berenam sudah tidak satu sekolah lagi. Sherly, Ega dan Dhena tetap
satu sekolah di SMA favorit di Kabupaten
Wonogiri.
Aku ingat sekali, sejak SD aku punya cita-cita,
aku ingin sekali bersekolah di SMA itu. Tapi takdir berkata lain. Aku sendiri
juga lupa, kenapa waktu itu aku lebih memilih untuk melanjutkan sekolahku di
salah satu SMK di Kota Solo.
Sedangkan Dhea dan Dewi memilih melanjutkan
sekolah ke sekolah yang dekat dengan rumah mereka masing-masing. Karena alasan
transportasi atau apa, aku kurang begitu tahu.
Meski begitu, Kami sering meluangkan waktu
untuk berkumpul dan bermain bersama.
“Nih, kuenya udah tak potong nanti ambil
sendiri yaa.”, kataku setelah selesai memotong kue.
“Habisin lho ya, tadikan kalian yang minta.”
“Tenang aja, semua makanan bakalan habis kok.
Kan kita semua jago makan.”, jawab Sherly.
Mendengar jawaban Sherly itu, kami berenam
spontan tertawa terbahak-bahak. Banyak sekali kenangan kita yang berhubungan dengan
makanan.
Jam menunjukkan pukul 09.00 WIB, tak terasa
sudah berjam-jam kami berkumpul tertawa bersama. Banyak sekali yang kami
ceritakan, mulai dari nostalgia masa-masa SMP sampai saling menceritakan banyak
hal yang ada di sekolah masing-masing,
Nggak lupa, kita juga sempat beberapa kali selfie untuk mengabadikan momen
bahagiaku ini dan sekaligus momen dimana kita bisa kumpul lengkap berenam.
Mungkin memang sudah waktunya untuk pulang ke
rumah masing-masing.
“Oom,Tante. Kita berlima pulang dulu ya, udah
malem.”, pamit Dhea pada kedua orangtuaku.
“Iya dek, hati-hati ya. Makasih udah mau datang
ke rumah dek Widya.”, jawab ibu menanggapi pamitan Dhea.
“Eh, makanan masih banyak nih, ndak mau
bungkus?”, tanyaku pada lima sahabatku.
“Enggak, besok aja kesini lagi!”, jawab Dewi
yang sudah mulai menyalakan mesin motornya.
“Mari Tante, Oom kami pulang dulu. Wid balik
dulu ya, bye!”, teriak kelima
sahabatku bersamaan.
“Oke. Bye!
Hati-hati di jalan yaa!”, teriakku mengantarkan mereka pulang dengan penuh
semangat.
Aku, Ibu dan Dinda langsung membereskan ruang
tamu.
Setelah selesai merapikan sisa-sisa kegembiraan
malam ini. Aku sekeluarga duduk bersama sambil menyaksikan acara televisi.
Beberapa menit ruangan ini membisu, sampai
akhirnya Bapak membuka pembicaraan.
“Sebentar lagi sudah kelas 12. Sebentar lagi
kamu lulus. Mau lanjut kuliah apa kerja Mbak?”, tanya Bapak kepadaku.
“Ya kuliah to, Pak. Anak pertama udah disuruh
kerja. Kan Bapak juga belum pensiun, gaji masih cukup buat membiayai sekolah
anak dan kebutuhan sehari-hari. Ibu juga punya tabungan buat jaga-jaga kalau
ada kebutuhan mendadak.”, sahut Ibu.
“Kalau Bapak terserah Widya saja. Siapa tahu
dia sekolah di SMK, jadi pengen mencoba didunia kerja?”, jawab Bapak
menenangkan suasana.
Mendengar percakapan Bapak dan Ibu aku mulai
memikirkan masa depanku.
“Hehe, Widya belum tahu, Pak, Bu. Pengennya sih
kuliah, tapi rasanya udah capek belajar. Aku nurut sama apa yang Bapak sama Ibu
mau aja deh.”, jawabku dengan nada yang tak meyakinkan.
“Ya jangan gitu, ini masa depanmu. Kamu yang
menentukan tujuan hidupmu. Bapak cuma bisa membantu membiayai sekolahmu.
Semuanya terserah kamu.”, jawab bapak yang berusaha meyakinkan pilihanku.
“Iya Pak, nanti Widya pikir-pikir lagi.”,
kataku yang berusaha mengakhiri pembicaraan. Aku masih bingung menjawab setiap
ada pertanyaan “Mau lanjut kemana, setelah lulus?”
“Sudah malam. Waktunya tidur. Dinda, tolong
matikan TV nya!”, perintah ibu kepada
adikku, tangan ibu menunjuk pada TV 14” yang masih menyala itu.
Aku segera bergegas bangkit untuk menuju kamar mandi untuk menggosok
gigi dan menyuci tangan serta kakiku, sebelum akhirnya tidur.Gimana guys ceritanya? Gaje ya? Mohon kritik dan sarannya dong :3 hehe. Thanks udah mau baca coretan manusia alay satu ini ;)